Oleh: Faisal Narwawan I
PAPUAinside.com, JAYAPURA—Sudah satu tahun almarhum Fembri Paul Gweiss Fonataba meninggal dunia.
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura itu ditemukan tak bernyawa di bak mandi di Perumahan BPN Dok IX RT 03 RW IV, Kelurahan Tanjung Ria, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura, Rabu (13/1/2021).
Hingga kini, kedua orang tua almarhum Gidion Fonataba dan Sarah masih belum tenang atas kepergian anak satu-satunya itu.
Mereka menilai, kematian anaknya berkaitan erat dengan pendidikan lanjutan profesinya.
Keduanya masih terus mencari keadilan atas kejadian itu, terutama terkait dengan sanksi yang diberikan kepada almarhum oleh salah satu dokter pembimbingnya.
“Saya masih sesalkan sikap dokter yang bersangkutan yang tak kenal maaf. Dan secara pribadi kami selama ini tak bisa tidur tenang, saya hanya ingin perjuangan kami ini terpuaskan atau dapat keterangan, kejelasan hal ini,” ungkapnya.
Elisa Benoni Titahena yang dipercayakan keluarga Paul untuk meneliti semua dokumen almarhum dan pihak kampus menjelaskan, dari keterangan dan dokumen yang ada, pihaknya telah membuat kajian dengan judul perenungan dan klarifikasi kajian terhadap meninggalnya almarhum Paul.
Poinnya ia menjelaskan, Paul Fonataba telah diyudisium pada 16 September 2014 yang selanjutnya masuk dalam program koas pada 4 April 2014 silam.
“Artinya ia telah lulus, namun oleh dokter ahli mata mengatakan bahwa ia tak lulus. Proses demi proses berjalan yang mana kita ketahui, ketidaklulusan almarhum, karena mengubah nilai. Hal ini sudah diupayakan dan sudah diberikan sanksi kepada almarhum. Bahkan, Paul dipindahkan tempat koasnya ke rumah sakit lain dengan catatan ada rekomendasi dokter yang bersangkutan, tapi tak ada ijin,” katanya.
“Ini semua memberikan tekanan psikologis luar biasa bagi almarhum. Tentu banyak yang ia pikirkan, tapi tak ada jalan,” tuturnya.
Pada momen itu, ia mengakui segala upaya apapun tak akan menghidupkan Paul. Namun, ia mengharapkan masalah tersebut dilanjutkan supaya tak ada hal yang sama yang menimpa mahasiswa di Indonesia.
“Ya, supaya tak ada Paul Paul yang lain. Ini harus jelas dan diselesaikan. Karena ini harapan orang tua hilang, keluarga bahkan warga Papua hilang, sehingga harus ada penegakan hukum,” ucapnya.
Sementara, dengan air mata Sarah pun minta ada keterbukaan terkait kasus itu.
“Semua nilainya A B, A B, tapi kenapa hanya satu nilai yang E. Untungnya apa bagi dokter ini? Saya tidak bisa bicara banyak lagi, saya minta doa agar keadilan ada dan dokter itu menyadari kesalahannya, supaya tak ada Paul lagi yang selanjutnya,” imbuh Sarah.
Diketahui, pihak keluarga telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi dengan meninggalnya anak semata wayangnya.
Keluarga bahkan sudah meminta bantuan LBH Papua, Ombudsman Papua, Dinas Kesehatan Papua, Inspektorat Papua, pemberitaan di media massa bahkan Komnas HAM Perwakilan Papua. **