Oleh : Faisal Narwawan|
PAPUAinside.com,JAYAPURA – Ribuan warga Toraja serta handai tolan menghantarkan Jenazah Gabriella Meilani ke tempat peristirahatan terakhir, di Pekuburan Kristen Tanah Hitam, Rabu (22/9/2021) sore.
Gabriella Meilani adalah pahlawan kesehatan yang dibantai dengan sadis oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Distrik Kiwirok, Papua.
Jenazah Suster Ella tiba di tempat pemakaman sekitar pukul 16. 40 WIT. Sejam lebih lamanya iring-iringan jenazah berada di jalan raya Waena- Abepura. Padahal, jarak rumah duka ke tempat pemakaman bisa ditempuh dalam waktu 30 menit saja jika menggunakan kendaraan roda empat. Iring-iringan jenazah juga menjadi tontonan warga sekitar yang kebetulan lewat.
Musidi dan Martina Rinding kedua orang tua Suster Ella yang ikut mengantarkan anak bungsunya itu terlihat masih tenggelam dalam kesedihan.
Kedua orang tuanya terlihat terus memandang peti jenazah putrinya itu. Setelah tiba, peti mati langsung diletakkan di atas liang kubur, dilanjutkan ibadah penguburan yang diikuti seluruh hadirin. Tak lama setelah itu, peti diturunkan dan dilanjutkan dengan menaruh karangan bunga dari berbagai pihak yang menyatakan turut berduka cita.
Tenaga kesehatan di Puskesmas Kiwirok yang dibunuh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) itu sebelumnya disemayamkan di rumah duka di Jalan Belut, Waena.
Jenazah wanita berdarah Toraja-Jawa ini tiba di Kota Jayapura pada Selasa 21 September 2021, setelah berhasil dievakuasi dari Distrik Kiwirok Pegunungan Bintang ke Makodam/XVII Cenderawasih Kota Jayapura menggunakan Hely milik TNI.
Ketua Umum Ikatan Keluarga Toraja (IKT) Papua Edie Rante Tasak di rumah duka menegaskan beberapa hal kepada pemerintah Papua termasuk kepada Pemda Kabupaten Pegunungan Bintang. Salah satunya ia mengatakan bahwa warganya tak tahu menahu dan tak ikut campur urusan politik Papua.
“Apalagi yang berkaitan dengan Papua Merdeka, kami tidak terlibat. Kami hanya sipil biasa yang mengabdi kepada tanah ini. Tolong dan salah kalau kami dijadikan tameng dan tumbal untuk niat yang tidak jelas,” katanya dalam sambutan sebelum jenazah diantarkan.
Ia bahkan mempertanyakan jaminan kesehatan bagi tenaga medis dan juga warga sipil di daerah rawan konflik.
“Jika tak ada jaminan keamanan, baiknya petugas di daerah-daerah ditarik saja ke kota. Kalau ada jaminan kemanan kami bersyukur. Mari kita semua tetap menjalankan tugas kepada pemerintah asalkan ada jaminan keamanan,” ungkapnya.
Suster Ella lahir di Besum, Kabupaten Jayapura pada 31 Mei 1999. Setelah lulus dari SMA Taruna Bhakti Waena, ia memilih melanjutkan sekolahnya di Poltekes Jayapura Jurusan Teknologi Laboratorium Medis. **
Suster Ella Memilih Kiwirok, Karena Belum ada Tenaga Laboratorium di Sana
Menurut Hamid, Ketua DPW Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Medik Indonesia (PATELKI) Papua, Suster Ella sendiri yang memilih untuk bertugas di Kiwirok, Pegunungan Bintang.
“Secara sukarela ia ingin bertugas di sana, dia kan lulus dalam tes kontrak yang diadakan Pemda Yahukimo dan Pegubin Papua. Ia lulus di dua daerah itu dan memilih Kiwirok,” ujar Hamid kepada wartawan.
Suster Ella diungkapkannya adalah satu-satunya tenaga laboratorium di Kiwirok. Ia mengikuti kontrak pada Juni 2021 dan seharusnya berakhir pada Setember 2021. Kontrak kerja sendiri untuk tenaga medis kata Hamid diperbarui setiap enam bulan sekali.
“Jadi belum ada di sana tenaga di laboratorium, kecuali suster Ella ini, dia juga kontraknya selesai September ini, tapi dia dipanggil duluan,” katanya.
Hamid berpendapat, pembantaian terhadap tenaga medis pastinya akan mempengaruhi psikologi tenaga medis di Papua terutama di daerah pedalaman.
“Jika tak ada jaminan keamanan ini akan menjadi hal yang sangat sensitif. Tenaga laboratium di daerah pedalaman sendiri sangat kurang, jarang ada orang seperti suster Ella yang mau bertugas di sana, kebanyakan di kota,” ujar Hamid lagi. **