Oleh: Makawaru da Cunha I
PAPUAinside.com, JAYAPURA—Sidang gugatan perwakilan kelompok atau class action Tim Kelompok Advokat Pengguna E-Court DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jayapura melawan PT. Telkom Indonesia di Pengadilan Negeri Kelas 1 A, Jayapura, Rabu (4/8/2021), mengalami penundaan hingga 25 Agustus 2021.
Alasannya, PT. Telkom Indonesia sebagai tergugat I dan Menteri Komunikasi dan Informatika RI tergugat III tak menyertakan surat kuasa resmi, karena itu dinyatakan tak sah atau tak memiliki kedudukan hukum atau legal standing. Sedangkan tergugat II Menteri BUMN RI dua kali tak hadir sejak sidang pertama pada 14 Juli 2021 lalu.
Ketua Majelis Hakim Eddy Soeprayitno S Putra, SH, MH, didampingi Anggota I Mathius, SH, MH dan Anggota II Linn Carol Hamadi, SH menyatakan tergugat I, II dan III harus melengkapi berkas-berkas dan surat kuasa resmi untuk legal standing.
Sementara itu, Ketua Tim Perwakilan Kelompok Advokat Pengguna E-Court, Dr. Anthon Raharusun, SH, MH mengatakan tergugat I PT. Telkom Indonesia melalui Direktur Costumer Service PT. Telkom Indonesia memberikan kuasa kepada penerima kuasa.
Dikatakan pihak yang berhak mewakili PT. Telkom Indonesia adalah Direksi atau dalam jabatannya disebut sebagai Direktur Utama, bukan Direktur Costumer Service yang memberikan kuasa, karena mereka tak mempunyai kewenangan dalam hal bertindak ke luar maupun ke dalam pengadilan.
“Kami keberatan, mereka tak punya legal standing dalam pemeriksaan perkara. Padahal gugatan class action kami kan sangat serius, karena juga mewakili kepentingan publik yang dirugikan,” tutur Raharusun.
“Bagaimana mungkin seorang direktur costumer service memberikan kuasa kepada penerima kuasa. Itu tak sah, karena itu pengadilan menganggap kehadiran mereka tak sah,” tegas Raharusun.
Begitu juga tergugat III Menteri Menteri Komunikasi dan Informatika melalui Kepala Biro Kepegawaian Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang hanya membawa surat tugas.

Raharusun mengatakan, pihaknya menghargai keputusan dari majelis hakim, yang mentolerir ketakhadiran para tergugat dan berupaya memanggil mereka sekali lagi. Namun, jika pada sidang berikutnya para tergugat tak menyertakan kuasa hukum resmi, maka pengadilan harus mengambil sikap.
Pasalnya, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 1964 menyebutkan bahwa majelis hakim dapat mengambil sikap, jika para tergugat tak hadir dalam dua kali persidangan.
“Kami minta pengadilan mengambil keputusan verstek tanpa hadirnya tergugat dan tanpa alasan yang sah, meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut. Artinya bahwa gugatan yang disampaikan penggugat dikabulkan seluruhnya,” tegas Raharusun.
Diketahui, dasar gugatan DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jayapura terkait dengan para advokat di seluruh Indonesia, termasuk di provinsi Papua itu menggunakan sistem E-Court, untuk pendaftaran perkara di pengadilan. Tapi semua tak bisa dilakukan selama 41 hari atau sejak 30 April hingga 9 Juni 2021, akibat jaringan Telkomsel di Jayapura terputus.
Tim Perwakilan Kelompok Advokat Pengguna E-Court, yang tergabung dalam DPC DPC Peradi Jayapura berjumlah 10 orang tim mewakili 205 anggota advokat di Papua.
Pengugat menggugat dengan total ganti rugi materiil (profesional fee dan operational fee) sebesar 174.250.000.000 ditambah Rp 52.275.000.000 menjadi 276.525.000.000.**